Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, March 7, 2013

Seorang Lelaki dan Iblis yang Menangis

Lelaki dan IBLIS yang Menangis

A
ku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku.Kuletakkan buku yang kubaca.Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan.


Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat.Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.




Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di beranda...




Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya membuat posisinya membentuk seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin.Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum Decorative Arts di Paris.Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku.Kuamati lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung?Atau iblis yang sebenarnya?Hah..! Ia mendesah panjang! Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan yang jitu...


Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut di salah satu tanduknya..?! Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit pun.Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan agak keras, " Hush.. Pergi Sana! "


Tapi ia masih disitu.Duduk di ujung kursi berandaku.Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada TUHAN. Pada ALLAH sang pencipta.Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku. Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang Iblis.


Tapi yang kulihat membuatku terkejut..??Lho?!Ia menangis!!!


Mataku tertumbuk pada matanya yang berair.Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya.Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis, walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya.Tapi paling tidak wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film Hollywood.Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap."Pergi.. Jangan ganggu!", kali ini seruanku lebih perlahan tapi tetap tegas.


Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya terdengar agak parau dan kasar."Mengapa?", tanyanya, "Kau begitu takut padaku?"


Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada ALLAH, pada TUHAN yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya, "Aku tidak takut sedikit pun padamu!"Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua."Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin besar dari segala Iblis?"...




"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat", jawabku.




Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri?!."Kau tidak berdusta?", tanyanya...


Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa?...Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu.Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali.Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong."Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya lagi. "Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?"


"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan!"Iblis itu menunduk.


Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku."Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya. "Boleh aku minta teh?"Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang -atau sesosok-iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku yakin dalam hati- ia sedang merencanakan sesuatu.Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya pada Allah bersikapdalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah satu dosa?Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini, mungkin aku bisa bertanya.Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti polisi di negeriini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada,dan aku saja yang tidak mengetahuinya?Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia, otomatis malaikat akanhadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin tokoh-tokoh kartun dalamfilm walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap dan sosok bertanduk yangsaling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok putih bersayap. Disudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar. Sekali kusenggolpintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -jangan-jangan ada malaikat dibaliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja samping tempattidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku, lalu kutuangteh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda."Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya. "Habiskan ini, dan tinggalkan berandaku!""Baiklah." katanya sambil mengambil cangkir yang kusodorkan. Sebaliknya iamenyodorkan sendal kamarku.Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan cangkir ke bibirnya, lalumenyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan, dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat berkurang.Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu. Dengan cara minumnyaseperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang lahir dari kata-kata manusia sendiri?"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan hatiku yang sedang sedih."katanya sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, seperti mencarikehangatan di sana."Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis." sahutku kasar. "Kebaikankumemberikan teh, jangan kau artikan kelemahan. Jadi sebaiknya kau tetap tutupmulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta segera berlalu dari sini.Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan terbuka."Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku. "Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?""Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar." sahutku."Begitukah?" tanyanya hampir pada dirinya sendiri. "Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?"Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukanatas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketikadiletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang kompetenmenentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya kompetensi untuk mencabutnyawa. Tapi bahkan TUHAN pun sepertinya menggunakan sistem perwakilan.Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa manusia, tapi tanganTUHAN sendiri.Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa jadi wakil TUHANuntuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup untuk hilangnyaselembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sosokpsikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil TUHAN dan membunuhipelacur.Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku. Aku pastisudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang pandai. Sangatpandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata."Tahukah kau mengapa aku sedih?" tanyanya."Kau hendak mencobai aku, Iblis?" sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidakakan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu.""Aku hanya bertanya," sahutnya. "Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan.""Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit tertawa. "Tentu saja kau akankesusahan sejak kau menantang ALLAH! Dan tidak ada empati untuk mahluk penentang ALLAH."Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis."Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaumdhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau?Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat sepertibandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka.Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku kejahatan.Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!""Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu adalah korban juga?Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik, korban masyarakat?Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada sedikitpun empati untukmereka?"Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak sang Iblis.Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia! Busuk benar kan?Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain atas nama hak asasimanusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi manusia lain.Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi manamungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Tohkonsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsepdemokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campuraduk dalam tatanan hidup masyarakat modern sekarang ini.Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme mungkin malah akanbersandingan dengan theis, dan bukan dengan atheis.Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di hadapanku ini! Sang iblis!Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia yang jahat. Tapi sang Iblis!Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang pemerkosa, bandar narkoba, maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah? Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi."Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar!" Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah."Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang ALLAH.Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?"Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku."Aku hanya menjalankan perintah ALLAH." katanya perlahan. "ALLAHmemerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, mengujisejauh mana ketaatannya pada ALLAH. Apakah itu berarti menentang ALLAH?"Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, "Kalau Iblis menentangperintah ALLAH untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggodamanusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-NYA? Mengapa manusia harusmembenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing personal."katanya dengan raut tidak berdosa.Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya."Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenciaku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku.Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?"Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kataIblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis.Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca -tanpa memahami-huruf- huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawankata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B, bacalah ayat B.Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada ulama?Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti sarinya.Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan sang Iblis.Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan pemikiran-pemikiran hebatnya? DenganIman? Hanya thok percaya pada kekuasaan ALLAH? Bagaimana teknis-praktisnya?Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama ALLAH. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah melontarkan satu kalimat bentakan, "Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu memutarbalikkanfakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu."Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan keimananku. Cukupkah?Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan. Perkara apakah ituakan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain soal. Yang pentingharus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat, aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk menghadapi sang Iblis.Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan ketidakbenaran bukan?Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki adalah mempercayaikita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan adalah benar-benarbenar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang ambigu. Perkarakebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. Toh yang kita lawan adalahsosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru. Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba- tiba."Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?"Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku."Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara ALLAH! Mahluk suci yang tidakmau berpaling dari ALLAH. Tidak sepertimu!""Bukankah ia yang mencabut nyawamu?""Ia menjalankan itu atas perintah ALLAH! Itu tugasnya, Bodoh!" Makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku."Bukankah aku pun demikian? Aku hanya menjalankan tugas." Sahutnya perlahan."Entah apa kepercayaanmu terhadap ALLAH, tapi semestinya kau tahu bahwarencana ALLAH yang mendudukan manusia - iblis dan malaikat dalam hubunganseperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing."Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh denganpertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku - bahwa akuadalah sang benar yang tengah melawan sang iblis- tidak surut, tapi aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimana pun ia Iblisdan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya,ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi darikekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi, apalagi biang segalakejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong kejahatan AlCapone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan bertarung secarafair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga menjalankan pertarunganmu.Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor.Jadi aku berkata perlahan saja."Okelah, kau sedih karena manusia membencimu. Lalu apa maumu?"Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya menggeleng-geleng perlahan."Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja.""Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu. Apakah itu cukup bagimu?"sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku."Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan terus menggoda manusia, ataukau akan pensiun menjadi Iblis?"Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini. Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara yang dinilai kafir.Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut ALLAH yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?"Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia."Aku tidak tahu." jawabku. "Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membacatulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalamdimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?""Manusia memang begitu." katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan. "KadangIblis lebih jujur dibandingkan manusia.""Hah...!" sergahku pendek."Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan.Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang KHALIK - pun manusia masihbisa berdusta.""Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampuberdusta ketika dihadapkan pada sang KHALIK." kataku yakin."Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku dengan matanya yang kinitidak berair lagi. "TUHAN, ALLAH tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. DIA menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?"Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat ALLAHterasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are all alone."ALLAH tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir."Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba- tiba dari bibirku.Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan? "Tapi manusia seringberdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan."kata Iblis."Atas bujukanmu tentu." sahutku pendek."Atas perintah ALLAH pula tentu." sahutnya tersenyum.Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sangiblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini."Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan kebohongan-kebohongan di berandaku ini.Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat. Dan satu lagi." Kataku dengan nada keras. "Jangan coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot." kataku mengancam.Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone, "Kata- kata manis dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil, dibandingkan kata-kata manis."Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan mengambilnya."Apakah kau masih membenci aku?"Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk ALLAH, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah ALLAH. It is just business, nothing personal."Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas. Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya. "Waktunya minum obat, pak!" katanya sambil tersenyum dan menyodorkan obat itu kebibirku.

Indahnya Kejujuran Cinta

Mengerti akan sesuatu bukan berarti mampu untuk mengatasi sesuatu itu sendiri..menjalani kebingungan takkan usai tanpa adanya ketegasan dalam menyikapi masalah.......

Aku tak mengerti kenapa ini bisa terjadi dalam perjalanan cintaku, awalnya kurasa ini bakal biasa saja..biasa dalam artian kata, menjalani cinta dengan seseorang tanpa ada masalah dari pihak ketiga.

2 bulan berjalan, mengenal orang tuanya, akrab dengan adik-adiknya..tak menjamin bahwa aku akan dapat diterima dengan lapang dada oleh keluarga orang yang aku cintai.Mengetahui kemauan keras dari kedua orang tuanya agar anaknya menjauh dariku adalah suatu pukulan terberat dalam hidupku..

Sekalipun bukan pertama kalinya juga aku menjalani cinta dengan seseorang,tetapi baru kali ini sebenar-benarnya aku merasakan tentangan dari orang tua., tak penat ku berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuanya melalui anak ini agar mereka mau dan bisa menerima aku apa adanya adalah hal yang berat,teramat berat buatku..

Kekolotan mereka dalam berpikir, sugestif akan hal-hal yang diluar rasional , pemaksaan kehendak kepada anaknya...tetap tak menyurutkan niatanku untuk melunakkan hati mereka..

Yaa..sebenarnya paham akan diri sendiri sih, akan apa yang "terlihat" pada diriku.Seseorang yang terlahir dengan tunadaksa, menjadikan orang lain akan berpikir beberapa kali untuk mengenalku,.terlepas itu.."its fine.."

Apa daya..setelah sang anak juga berusaha untuk melunakkan pola pikir kedua orang tuanya.,ternyata tetap juga tidak merubah keputusan mereka..dan bahkan sang Bapak mengatakan kalau masih bersama diriku,dia akan dianggap bukan anaknya lagi..???hmm..............


" WHAT A LOVE " ...thats yang hanya aku bisa keluhkan tentang hal ini..tak lebih dan tak kurang.Entah mau bagaimana lagi mengatasi pemikiran kedua orang tuanya..??si anak menghendaki aku untuk masih dan masih terus mau berusaha melunakkan hati kedua orang tuanya.

" ULTIMATUM "..itulah yang membuatku gidik untuk mencoba terus..Ultimatum yang selalu terngiang di kepalaku...,alangkah tega dan dosanya diriku andai aku memaksakan keinginanku untuk tetap menyanding anak ini...lagi2...hmmmm.....

Seiring berjalan waktu,.aku tetap mencoba untuk menghargai orang tua kekasihku, perlahan mulai menjaga jarak dengan dia, perlahan mulai mencoba mengenal wanita lain dan berusaha sejujur mungkin untuk menjaga jarak itu..sakit..sakit memang, tapi.. apa lagi yang bisa dilakukan terlebih orang sepertiku yang notabene dianggap tak baik bersanding dengannya.

Beberapa kali kukatakan sama dia, " carilah orang lain yang bisa diterima orang tuamu, yang bisa membuatmu lebih nyaman, yang bisa membahagiakanmu kelak.Tetap saja anak itu tak mau melakukannya, malah..setiap kesini malah semakin sayang dan perhatian denganku..hmm..

Dan seiring waktupun, "aku berbuat jahat" sama dia, kukenalkan sesekali teman wanita baruku sama dia, tak terbersit sekalipun akan sikapnya,."luar biasa".,dia hanya tersenyum dan menjabat tangan teman wanitaku itu, malah bersikap ramah dan sopan..

Tak penat dengan apa yang terjadi, tak ingin lebih menyakiti kedepannya, tak mau mengecewakan banyak orang..maka akupun melakukan usaha terakhir.."

Kesabaran anak ini begitu indahnya.,dia rela menerima kenyataan pahit bahwa aku..mengambil keputusan akan melamar orang lain..??